Senin, 05 Januari 2015

Migrasi Masuk Papua: Penyelesaian atau Masalah?


Pulau Papua adalah pulau yang terletak di bagian paling timur negara Indonesia. Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea. Sejak tahun 2003, Papua dibagi menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 km2 persegi dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama di Indonesia.

Tidak semua masyarakat Indonesia tahu mengenai isu-isu tentang Papua. Namun ada satu isu tentang Papua yang perlu kita ketahui lebih lanjut, yaitu tentang kependudukan di Papua, yang mana berkaitan erat dengan migrasi.

Masalah kependudukan yang utama di Papua adalah Pulau Papua sendiri penduduknya didominasi oleh penduduk bukan asli Papua atau bisa dikatakan kaum imigran. Berdasarkan UU 21/2001, orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Menurut data BPS, hingga pada pertengahan tahun 2010 jumlah orang asli Papua mencapai 1,730.336 atau 47.89%. Sementara penduduk non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Di akhir tahun 2010, orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%. Populasi non Papua mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Bila kita lihat dan pahami lebih dalam lagi, dengan banyaknya migran yang datang ke Papua seharusnya menjadikan Papua sebuah daerah yang maju dan berkembang. Namun pada kenyataannya, kita bisa melihat bahwa penduduk asli Papua malah tetap menjadi penduduk yang miskin dan kurang berkembang.

Beberapa tahun yang lalu, orang-orang luar Papua yang mengetahui bagaimana kondisi Papua -yang saat itu saya diberitahu bahwa sumber daya alam di Papua sangat melimpah namun penduduknya sendiri kurang berkembang- berbondong-bondong datang ke Papua dengan niat ingin memperbaiki Papua. Banyak sekali orang berpikiran demikian. Program pemerintah pun tak sedikit yang berfokus pada pengembangan pulau Papua. Sebenarnya mereka benar-benar memperbaiki Papua, namun yang lebih fokus diperbaiki adalah ‘pulau’ tersebut. Seolah-olah mereka lupa akan penduduk asli yang menempati pulau tersebut.

Migrasi sebenarnya tidak salah untuk dilakukan. Migrasi menjadi salah apabila penduduk asli wilayah tersebut eksistensinya jadi terancam. Dalam kasus ini, pemerintah secara tidak langsung telah salah mengambil langkah dalam ‘tujuan memajukan Papua’. Bisa kita lihat sendiri, Papua malah didominasi oleh kaum pendatang yang terdiri dari tiga kelompok: pertama adalah pegawai dan tenaga ahli perusahaan-perusahaan besar yang masuk ke Papua untuk memangku jabatan-jabatan yang telah tersedia; kedua petani-petani yang didatangkan dari pulau Jawa lewat program transmigrasi untuk menetap dan mencari kehidupan yang layak; ketiga adalah pendatang yang pindah dengan biaya sendiri dan mengharapkan mendapat pekerjaan setelah sampai di Papua.

Pemerintah pernah mengeluarkan Undang-undang no. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Papua. (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. UU ini dikeluarkan dengan latar belakang dirasa belum adanya keadilan dalam sektor pembangunan, belum tercapainya kesejahteraan masyarakat, dan belum tegaknya keadilan HAM di wilayah Papua.

Di dalam UU 21/2001 pasal 61 (Bab XVIII tentang kependudukan dan ketenagakerjaan), disebutkan hal-hal sebagai berikut:

(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di Provinsi Papua.

(2) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan, peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.

(3) Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan dengan persetujuan Gubernur.


Gubernur bertanggungjawab dalam mengendalikan kependudukan di Papua. Namun yang terjadi adalah Gubernur manut-manut saja dengan program transmigrasi (ke Papua) dari pemerintah pusat. Gubernur Papua sendiri tidak bertindak tegas dalam menyikapi problematika kependudukan Papua yang sampai sekarang masih didominasi oleh kaum imigran. Pihak yang salah dalam kasus ini tidak hanya pemerintah pusat, namun juga pemerintah lokal.

Ketika Presiden Joko Widodo mengungkapkan tentang program transmigrasi ke Papua, banyak orang asli Papua yang melangsungkan protes. Hal tersebut berlangsung karena mereka merasakan dampak negatif dari adanya program transmigrasi yang tidak terkendali. Protes-protes tersebut disampaikan mulai dari rakyat Papua biasa hingga para pemimpin Papua.

Program transmigrasi Papua seharusnya dihentikan sementara. Program transmigrasi tersebut sebaiknya diganti dengan program pengiriman sumber daya manusia yang berkompeten dalam memajukan Papua, baik dari segi fisik maupun penduduknya. Bila program transmigrasi dilanjutkan, orang asli Papua bisa terancam punah.

Untunglah, baru-baru ini saya membaca berita dengan judul “100 Juta Hadiah Bagi Mama Papua yang Melahirkan Anak Lebih dari 10 Orang” di website papuapos.com. Gubernur Papua yang sekarang, Lukas Enembe, mencanangkan program baru. Program tersebut adalah memberikan uang Rp100.000.000,00 kepada para ibu yang telah berhasil melahirkan anak lebih dari 10 orang. Gubernur juga menganjurkan agar keluarga Papua tidak harus mengikuti program KB (Keluarga Berencana), tetapi mendorong agar keluarga Papua melahirkan anak sebanyak-banyaknya namun juga harus diurus dengan baik. Jumlah orang asli Papua haruslah sebanding dengan luasnya wilayah Papua dan tidak boleh menjadi kalangan minoritas di pulau sendiri.

Tidak hanya Gubernur Lukas Enembe saja yang menjalankan program baru, Bupati Kabupaten Lanny Jaya, Befa Jigibalom, juga memberikan dukungan akan program tersebut dengan memberi Rp5.000.000,00 kepada setiap ibu mengandung. Biaya tersebut diharapkan dapat membantu ibu memenuhi gizi bagi janin dalam kandungannya

Pemerintah lokal mengharapkan semua program itu dapat menumbuhkan jumlah orang asli Papua sekaligus menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat dan pintar, dimulai sejak dalam kandungan
ditulis oleh
Karina Danastri Hanindita
Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
2014  

2 celometan dari yang lain:

Unknown mengatakan...

request post baru,,,hahaha

Unknown mengatakan...

suka sama pos diatas, thanks buat kepekaanmu melihat masalah papua

Posting Komentar

Suka sama post di atas? atau masih penasaran? atau mau request post baru? bisa tinggalin komentar kok di sini :)

 

(c)2009 Little Random. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger