Pulau Papua adalah pulau yang terletak di
bagian paling timur negara Indonesia. Belahan timurnya merupakan negara
Papua Nugini atau East New Guinea. Sejak tahun 2003, Papua dibagi
menjadi dua provinsi di mana bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya
memakai nama Papua Barat. Papua memiliki luas 808.105 km2 persegi
dan termasuk pulau terbesar kedua di dunia dan pulau terbesar pertama di
Indonesia.
Tidak semua masyarakat Indonesia tahu
mengenai isu-isu tentang Papua. Namun ada satu isu tentang Papua yang perlu
kita ketahui lebih lanjut, yaitu tentang kependudukan di Papua, yang mana
berkaitan erat dengan migrasi.
Masalah kependudukan yang utama di Papua
adalah Pulau Papua sendiri penduduknya didominasi oleh penduduk bukan asli
Papua atau bisa dikatakan kaum imigran. Berdasarkan
UU 21/2001, orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras
Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang
yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua. Menurut data BPS, hingga
pada pertengahan tahun 2010 jumlah orang asli Papua mencapai 1,730.336 atau
47.89%. Sementara penduduk non Papua mencapai 1,882,517 atau 52,10%. Di akhir
tahun 2010, orang asli Papua mencapai 1,760,557 atau 48.73%. Populasi non Papua
mencapai 1,852,297 atau 51.27%. Bila kita lihat dan pahami lebih dalam lagi,
dengan banyaknya migran yang datang ke Papua seharusnya menjadikan Papua sebuah
daerah yang maju dan berkembang. Namun pada kenyataannya, kita bisa melihat
bahwa penduduk asli Papua malah tetap menjadi penduduk yang miskin dan kurang
berkembang.
Beberapa
tahun yang lalu, orang-orang luar Papua yang mengetahui bagaimana kondisi Papua
-yang saat itu saya diberitahu bahwa sumber daya alam di Papua sangat melimpah
namun penduduknya sendiri kurang berkembang- berbondong-bondong datang ke Papua
dengan niat ingin memperbaiki Papua. Banyak sekali orang berpikiran demikian. Program
pemerintah pun tak sedikit yang berfokus pada pengembangan pulau Papua.
Sebenarnya mereka benar-benar memperbaiki Papua, namun yang lebih fokus diperbaiki
adalah ‘pulau’ tersebut. Seolah-olah mereka lupa akan penduduk asli yang
menempati pulau tersebut.
Migrasi
sebenarnya tidak salah untuk dilakukan. Migrasi menjadi salah apabila penduduk
asli wilayah tersebut eksistensinya jadi terancam. Dalam kasus ini, pemerintah
secara tidak langsung telah salah mengambil langkah dalam ‘tujuan memajukan
Papua’. Bisa kita lihat sendiri, Papua malah didominasi oleh kaum pendatang
yang terdiri dari tiga kelompok: pertama adalah pegawai dan tenaga ahli
perusahaan-perusahaan besar yang masuk ke Papua untuk memangku jabatan-jabatan
yang telah tersedia; kedua petani-petani yang didatangkan dari pulau Jawa lewat
program transmigrasi untuk menetap dan mencari kehidupan yang layak; ketiga
adalah pendatang yang pindah dengan biaya sendiri dan mengharapkan mendapat
pekerjaan setelah sampai di Papua.
Pemerintah
pernah mengeluarkan Undang-undang no. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi
Papua. (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 135 dan Tambahan Lembaran Negara No.
4151) yang telah diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 2008 (LN Tahun 2008 No. 57 dan
TLN No. 4843). UU 21/2001 yang terdiri dari 79 pasal ini mengatur
kewenangan-kewenangan Provinsi Papua dalam menjalankan Otonomi Khusus. UU ini
dikeluarkan dengan latar belakang dirasa belum adanya keadilan dalam sektor
pembangunan, belum tercapainya kesejahteraan masyarakat, dan belum tegaknya
keadilan HAM di wilayah Papua.
Di
dalam UU 21/2001 pasal 61 (Bab XVIII tentang kependudukan dan ketenagakerjaan),
disebutkan hal-hal sebagai berikut:
(1) Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian terhadap pertumbuhan penduduk di
Provinsi Papua.
(2) Untuk mempercepat terwujudnya pemberdayaan,
peningkatan kualitas dan partisipasi penduduk asli Papua dalam semua sektor
pembangunan Pemerintah Provinsi memberlakukan kebijakan kependudukan.
(3) Penempatan penduduk di Provinsi Papua dalam
rangka transmigrasi nasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dilakukan
dengan persetujuan Gubernur.
Gubernur bertanggungjawab dalam
mengendalikan kependudukan di Papua. Namun yang terjadi adalah Gubernur manut-manut saja dengan program
transmigrasi (ke Papua) dari pemerintah pusat. Gubernur Papua sendiri tidak
bertindak tegas dalam menyikapi problematika kependudukan Papua yang sampai
sekarang masih didominasi oleh kaum imigran. Pihak yang salah dalam kasus ini
tidak hanya pemerintah pusat, namun juga pemerintah lokal.
Ketika
Presiden Joko Widodo mengungkapkan tentang program transmigrasi ke Papua,
banyak orang asli Papua yang melangsungkan protes. Hal tersebut berlangsung
karena mereka merasakan dampak negatif dari adanya program transmigrasi yang
tidak terkendali. Protes-protes tersebut disampaikan mulai dari rakyat Papua
biasa hingga para pemimpin Papua.
Program
transmigrasi Papua seharusnya dihentikan sementara. Program transmigrasi
tersebut sebaiknya diganti dengan program pengiriman sumber daya manusia yang
berkompeten dalam memajukan Papua, baik dari segi fisik maupun penduduknya.
Bila program transmigrasi dilanjutkan, orang asli Papua bisa terancam punah.
Untunglah, baru-baru ini saya membaca berita dengan judul “100 Juta Hadiah Bagi Mama Papua yang Melahirkan Anak Lebih dari 10 Orang” di website papuapos.com. Gubernur Papua yang sekarang, Lukas Enembe, mencanangkan program baru. Program tersebut adalah memberikan uang Rp100.000.000,00 kepada para ibu yang telah berhasil melahirkan anak lebih dari 10 orang. Gubernur juga menganjurkan agar keluarga Papua tidak harus mengikuti program KB (Keluarga Berencana), tetapi mendorong agar keluarga Papua melahirkan anak sebanyak-banyaknya namun juga harus diurus dengan baik. Jumlah orang asli Papua haruslah sebanding dengan luasnya wilayah Papua dan tidak boleh menjadi kalangan minoritas di pulau sendiri.
Tidak hanya Gubernur Lukas Enembe saja yang menjalankan program baru, Bupati Kabupaten Lanny Jaya, Befa Jigibalom, juga memberikan dukungan akan program tersebut dengan memberi Rp5.000.000,00 kepada setiap ibu mengandung. Biaya tersebut diharapkan dapat membantu ibu memenuhi gizi bagi janin dalam kandungannya
Pemerintah lokal mengharapkan semua program itu dapat menumbuhkan jumlah orang asli Papua sekaligus menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat dan pintar, dimulai sejak dalam kandungan
Untunglah, baru-baru ini saya membaca berita dengan judul “100 Juta Hadiah Bagi Mama Papua yang Melahirkan Anak Lebih dari 10 Orang” di website papuapos.com. Gubernur Papua yang sekarang, Lukas Enembe, mencanangkan program baru. Program tersebut adalah memberikan uang Rp100.000.000,00 kepada para ibu yang telah berhasil melahirkan anak lebih dari 10 orang. Gubernur juga menganjurkan agar keluarga Papua tidak harus mengikuti program KB (Keluarga Berencana), tetapi mendorong agar keluarga Papua melahirkan anak sebanyak-banyaknya namun juga harus diurus dengan baik. Jumlah orang asli Papua haruslah sebanding dengan luasnya wilayah Papua dan tidak boleh menjadi kalangan minoritas di pulau sendiri.
Tidak hanya Gubernur Lukas Enembe saja yang menjalankan program baru, Bupati Kabupaten Lanny Jaya, Befa Jigibalom, juga memberikan dukungan akan program tersebut dengan memberi Rp5.000.000,00 kepada setiap ibu mengandung. Biaya tersebut diharapkan dapat membantu ibu memenuhi gizi bagi janin dalam kandungannya
Pemerintah lokal mengharapkan semua program itu dapat menumbuhkan jumlah orang asli Papua sekaligus menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang sehat dan pintar, dimulai sejak dalam kandungan
ditulis oleh
Karina Danastri Hanindita
Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
2014
2 celometan dari yang lain:
request post baru,,,hahaha
suka sama pos diatas, thanks buat kepekaanmu melihat masalah papua
Posting Komentar
Suka sama post di atas? atau masih penasaran? atau mau request post baru? bisa tinggalin komentar kok di sini :)